Bukan sebuah rahasia lagi kalau permulaan (kick-off) sebuah proyek IT (mungkin juga terjadi di proyek non IT) adalah momentum yang baik untuk membentuk sebuah kultur di dalam team. Pada saat permulaan proyek, keadaan psikologi team masih sangat prima. Belum dinodai oleh pikiran – pikiran jahat dan kotor seperti malas – malasan. Selain itu permulaan proyek juga momentum yang baik untuk membangun kepercayaan karena biasanya para stakeholder masih menaruh trust yang tinggi kepada team.
Bagi perusahaan IT yang menganut model bisnis IT outsourcing, ada tantangan tersendiri setiap kali ada proyek baru. Salah satunya adalah menyediakan talenta – talenta yang baik untuk memenuhi kebutuhan client pada proyek tersebut. Well.. aktifitas rekrutment dan pasca rekrutment ini sangat menarik untuk ditulis.
Bagi saya pribadi, proses rekrutment akan berjalan normatif dengan standar yang sudah dijalankan sebagaimana umumnya. Yakni interview (sebagai nama lain dari fit & proper test) yang dilakukan internal perusahaan. Kalau proses ini lolos, akan ada interview kedua dengan client (user) yang akan menggunakan jasa keterampilan orang tersebut.
Menyelesaikan soal – soal berkenaan dengan algoritma dan hal teknis lainnya adalah hal yang umum di dalam sebuah interview. Oleh karena itu, bagi saya kalau sudah melalui tahapan ini saya rasa tidak perlu lagi memverifikasi kemampuan teknis orang tersebut. Insya Allah mantaplah …. The next question yang tidak kalah penting setelah proses interview adalah :
“Apakah talenta ini bisa bekerja sama dengan talenta lain dalam sebuah proyek ? “
Kenapa pertanyaan ini penting ?, ya betul bahwa ketika seseorang dengan pengalaman sekian tahun di industri IT dia akan membawa pengalaman teknis yang dia miliki bersama kita (hal ini tentu saja positif). Tetapi jangan lupa bahwa dia juga berpotensi membawa ego yang dia miliki. Termasuk di dalamnya potensi – potensi buruk lainnya seperti tukang gosip, pesimistic dan aroma toxic lainnya.
Ingat ya, ketika membicarakan psikologi seseorang artinya kita harus menggunakan kacamata psikologi juga untuk melakukan penilaian. Bukan dengan kacamata seorang engineer (yang cenderung black and white). Psikologi berbicara tentang kecenderungan, dan kecenderungan ini sifatnya bukan sesuatu yang terus menerus terjadi tanpa adanya perubahan. Jadi ketika kita mengatakan bahwa seseorang yang punya pengalaman itu berpotensi membawa ego dan aroma toxic lain, artinya adalah ada potensi yang kemungkinan terjadi. Bukan semua orang pasti begitu.
Pernah gak dengar di sebuah proyek IT ada orang yang selalu ngotot dengan sebuah solusi penyelesaian dengan beralasan bahwa “di kantor lama saya kek begini”. Atau ada orang yang berusaha mempengaruhi orang lain dan menghimpun kekuatan manakala ada kebijakan perusahaan yang tidak sesuai dengan mood dia. Nah, hal – hal seperti itulah aspek non-teknis yang harus diwaspadai manakala kita merekrut orang – orang dengan pengalaman yang lumayan.
Oleh karena itu, menurut saya untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini perlu dibentuk kultur Meritokrasi. wah … apaan lagi dah tuh … Sederhananya gini deh, Meritokrasi adalah budaya yang menunjuk seseorang untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan kompetensinya. Jadi kalau orang tersebut tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan suatu masalah, jangan ditunjuk untuk menempati posisi tertentu agar bisa menyelesaikan masalah.
Namun untuk sampai kesana, bukanlah hal yang mudah. Kita perlu membiasakan budaya berdiskusi terbuka dengan mengedepankan konsep Egalitarianisme. Egalitarianisme adalah sebuah konsep pemahaman bahwa semua orang sama sederajat. Dengan memiliki budaya tersebut seseorang akan lebih mudah mengemukakan pendapat dan gagasannya secara terbuka. Tanpa harus takut merasa di bully ketika pendapatnya salah.
Dengan demikian, budaya kebebasan berpendapat dan saling menghargai pendapat orang lain akan semakin terbentuk Yang pada akhirnya budaya Meritokrasi bukanlah hal yang asing di telinga kita.
Tabik,
Kuala Lumpur
Bagaimana kita dapat mengukur keberhasilan dalam menerapkan budaya berdiskusi terbuka dengan mengedepankan prinsip Egalitarianisme dan Meritokrasi? Visit Us Telkom University