Aku lahir dan dibesarkan di dalam keluarga yang pas – pasan. Ayahku seorang guru ngaji dan Ibuku seorang pegawai negeri sipil. Mungkin banyak orang yang mengira bahwa menjadi pegawai negeri sipil itu menyenangkan dan banyak uang. Tetapi tidak demikian halnya dengan Ibuku. Untuk mencukupi kehidupan kami berlima Ibuku mencari sampingan dengan mengurus kartu jaminan kesehatan bagi pegawai negeri. Tidak jarang Ibuku harus mondar – mandir mengurus kartu jaminan kesehatan milik orang lain, dan itu sudah dilakukan dari sewaktu aku masih kecil. Terlebih sebelum kesejahteraan pegawai negeri di tingkatkan seperti sekarang ini, Ibu selalu membuat catatan pengeluaran dan pemasukan setiap bulannya. Agar cukup untuk kami berlima.
Dulu Ayahku mempunyai usaha yang bergerak di bidang garmen, namun sejak tahun 1998 Ayahku menderita penyakit Diabetes Melitus. Selama kurang lebih 3 tahun, yakni tahun 1998 sampai dengan 2001 Ayahku tidak bisa berjalan dan hanya terbaring di tempat tidur. Dan alhamdulillah sampai pada saat ini Allah SWT masih memanjangkan umurnya sampai dengan saat ini, padahal justru banyak teman – temannya yang lebih dulu dipanggil kehadirat-Nya.
Setelah bisa kembali berjalan, dari tahun 2002 Ayahku mulai kembali beraktifitas. Tetapi bukan untuk bekerja seperti kebanyakan orang. Ayahku mengajar ngaji, memang ayahku sebenarnya adalah salah satu lulusan pondok pesantren terkenal di Lirboyo. Namun karena pada saat itu tuntutan hidup yang kuat maka Ayahku terpaksa ikut mengadu nasib di Jakarta. Dari sejak saat itu ayahku mulai kebanjiran jama’ah. Mulai dari bapak – bapak, ibu – ibu, termasuk juga remaja yang ingin mengundang ayahku untuk memberikan pengajaran agama di musholla – musholla ataupun di rumah – rumah mereka. Dan sampai dengan saat ini nyaris tidak ada hari yang kosong, setiap malam Ayahku keliling dari rumah ke rumah, dari RT ke RT untuk memberikan pengajaran agama.
Aku dan dua orang kakak-ku selalu menunggu Ayah ketika pulang mengajar. Kami bertiga biasa menunggu kue dan ‘nasi berkat’ sambil menonton televisi. Dan Ayahku selalu membangun kan Ibuku atau kakak-ku jika sudah tertidur. Tidak jarang kami makan oleh – oleh pengajian tersebut bersama – sama. Dan disinilah kekeluargaan kami semakin terpupuk.
Aku tidak tau bagaimana harus membalas jasa Ibu dan Ayahku. Mereke berdua selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada anak – anaknya. Pernah suatu ketika aku ingin kursus bahasa Inggris di salah satu lembaga pendidikan bahasa Inggris, walaupun pada saat itu ekonomi keluarga tidak sedang stabil tetapi ayahku terus memotivasi aku agar tetap ikut kursus bahasa Inggris tersebut. Sampai aku teringat dengan ucapan ayahku ‘Kalau kamu tidak memulai sekarang, Kamu akan semakin tertinggal’. Tidak hanya sampai disitu, pada saat kami bertiga sudah mulai menginjak remaja, kami sudah mulai membutuhkan komputer. Dengan jerih payahnya sampai meminjam uang pun dilakukan kedua orang tuaku demi untuk membelikan sebuah komputer yang sampai dengan saat ini masih aku rawat.
Hari demi hari terus kami lewati seperti itu, sampai pada akhirnya satu persatu aku dan kakak – kakak ku mulai lulus dari kuliah. Dan seiring dengan berjalannya waktu kehidupan ekonomi kami pun membaik. Kakak pertamaku bekerja di salah satu perkantoran daerah Thamrin, sedang kakak ku yang kedua bekerja di salah satu Perusahaan di kawasan industri Cibitung. Dan aku sendiri menjadi programmer di salah satu perusahaan IT di Tangerang. Setiap akhir pekan, sabtu dan ahad aku selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Bekasi menengok keadaan orang tuaku.
Walaupun saat ini aku telah jauh dari mereka, namun semua kenangan di masa kecil itu tidak akan terlupakan. Aku selalu merindukan saat – saat itu terulang kembali.
Gambar sumber : http://gurungaji1.files.wordpress.com/2010/12/belajar-alquran3.jpg
Good writing…
thank you ..
it’s wonderful story, and being grateful life
Thank you amel, tulisan tulisanmu juga inspiratif