Alhamdulillah Sabtu kemarin (7 nov 2020) saya berkesempatan untuk melihat pameran benda benda pusaka peninggalan salah seorang pahlawan nasional, Kanjeng Pangeran Diponegoro. Acara yang bertajuk Pamor Sang Pangeran ini diselenggarakan di Museum Nasional Indonesia dalam rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2020.
Acara digelar beberapa sesi dalam satu hari, dan jumlah pengunjung pada tiap sesi juga dibatasi untuk memastikan acara dapat mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Kebetulan saya ambil sesi pertama dari jam 10:00 sampai dengan 11:00. Acara dibuka dengan pertunjukan animasi yang menceritakan perjalanan hidup Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro lahir dengan nama Bendoro Raden Mas Musthahar, beliau adalah putra dari pasangan Raden Mas Surojo (yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono III) & Raden Ayu Mangkorowati. Pangeran Diponegoro dibesarkan oleh nenek beliau yang juga Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono I, yakni Ratu Ageng Tegalrejo (nama asli beliau adalah Niken Loro Yuwati). Pangeran Diponegoro besar dengan didikan santri dan sangat inklusif sekali dengan kehidupan rakyat, sehingga beliau dapat ikut merasakan beban penderitaan rakyat pada masa itu.
Pangeran Diponegoro adalah tokoh sentral dari Perang Jawa (1825 – 1830) yang nyaris membuat bangkrut VOC Belanda. Belanda menderita kerugian sebesar 25 Juta Gulden ( USD 2,2 Miliar saat ini), dan 15.000 serdadunya tewas selama perang. Perang Jawa kemudian berakhir sebab karena penipuan yang dilakukan oleh Jenderal De Kock pada sebuah perjanjian yang terjadi di Magelang pada 28 Maret 1830. Kemudian Kanjeng Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado hingga beliau wafat.
Pameran ini menampilkan beberapa peninggalan kanjeng Pangeran Diponegoro seperti keris kesayangan beliau (Keris Nogo Siluman), Pelana Kuda, Tongkat, dan Payung Kebesaran.
Yang paling membuat saya kagum adalah peninggalan beliau berupa buku Serat Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh beliau selama masa pengasingan di Manado. Babad Diponegoro ditulis setebal 1150 halaman dalam aksara Arab Pegon (Arab Jawi) sebagai aksara yang umum dipakai kalangan santri.
Inilah kanjeng Pangeran Diponegoro seorang dengan talenta lengkap, sebagai pemimpin negara, santri yang meluhurkan agama, juga penulis buku. Besar harapan saya agar acara – acara seperti ini dapat terus digelar dengan mengangkat tema – tema sejarah dari para pahlawan nasional yang lain.
Mudah – mudahan kita bisa meneruskan nilai – nilai perjuangan para leluhur bangsa kita.