Hello guys, di pagi menjelang siang yang cerah ini saya ingin menulis pandangan saya tentang hal yang belakangan ini hangat diperbincangkan di tengah masyarakat, yaitu penggunaan istilah kafir menjadi non muslim. Oke saya pengen cerita dulu asal muasalnya ya. Jadi pada tanggal 27 Februari 2019 s/d 1 Maret 2019 Nahdhatul Ulama (NU) menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdhatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat. Dalam Munas Alim Ulama NU tersebut dihasilkan 5 rekomendasi yakni yang berkenaan dengan :
# | Tema Rekomendasi |
1 | Soal Sampah Plastik |
2 | Bisnis MLM Haram |
3 | Sebutan Kafir |
4 | Islam Nusantara |
5 | Tidak Golput |
Eng ing eng …. yang nomor 3 itu bikin geger jagat dunia maya hehehe dan seperti biasanya lah sebagian orang terus mengait ngaitkan rekomendasi alim ulama NU ini dengan isu politik menjelang pilpres 2019, biasalah memang hari – hari belakangan ini energi dan konsentrasi kita sudah terdikotomi dengan afiliasi politik, dari mulai temen kantor sampe bapak kost sedap banget kalo ngomongin pilpres hehe.
Terus kita juga perlu tau nih beragam tanggapan tentang penyebutan istilah kafir tersebut, berikut ini beberapa tanggapan dari beberapa tokoh :
Dr. Fahri Hamzah
Ustadz Adi Hidayat, LC
Tuan Guru Bajang (Dr. Muhammad Zainul Majdi)

Penggunaan Istilah Non Muslim di Arab Saudi
Hehe makin seru deh diskursus penggunaan istilah kafir vs non muslim ini, sekali lagi terutama di tahun politik dimana banyak banget konsentrasi dan energi kita yang dicurahkan untuk dukung mendukung paslon baik petahana maupun penantang. Tapi anyway menurut saya sebenarnya masyarakat kita terutama yang tinggal di perkotaan (karena saya lahir dan besar di daerah perkotaan) sudah cukup cerdas kok memilih kata yang sesuai, kapan kita harus memakai kata kafir dan kapan kita menggunakan kata non muslim.
Saya ambil contoh gini, saya masih inget banget tuh waktu saya ngaji kitab fiqih sama guru saya, di dalam bab Haji misalnya, sebelum masuk rukun dan sunnah Haji biasanya ada pre-requisite atau syarat wajib Haji. Diantara syarat wajib Haji yaitu Islam, Baligh, Berakal. Kalo yang pernah belajar kitab kuning bakalan nemu istilah Matan dan Syarah, Matan adalah inti kalimat dari kitab itu dan Syarah adalah penjelas dari matan. Biasanya kalau matan nya menyebutkan “Islam” maka disyarahnya mengatakan “Maka tidak wajib bagi orang kafir bla bla bla”.

Penyebutan Kafir dalam Kitab Fiqih
Oke kita simpan dulu ya contoh penggunaan kata kafir seperti diatas, sekarang saya mau cerita pengalaman saya waktu dulu sekolah di salah satu SMP negeri di Kota Bekasi. Dari kelas 1 sampai kelas 3 mayoritas siswa di kelas saya adalah Muslim, yang non muslim itu teman teman saya yang beragama Kristiani hanya sekitar 4 sampai 5 orang saja. Oleh karena itu, setiap ada pelajaran agama pihak sekolah bekerjasama dengan gereja yang ada di dekat sekolah SMP saya untuk mendatangkan guru pendidikan agama Kristen. Nah teman teman saya yang beragama Kristen dikumpulkan dengan dalam satu kelas terpisah dan saya masih ingat betul guru agama Islam saya sebelum pelajaran agama Islam dimulai selalu mengatakan
” Bagi siswa siswi yang beragama non Muslim (dalam hal ini Kristiani) pelajaran agamanya pindah ke ruangan bla bla bla “
Dan kayaknya gak mungkin juga guru saya pake istilah kafir untuk meminta siswa yang beragama lain untuk mengikuti pelajaran agama di ruang lain karena di usia segitu aja kita udah cukup tau kapan dan dimana istilah kafir tepat disematkan kepada teman teman yang beragama diluar Islam (jauh sebelum adanya rekomendasi alim ulama NU yang bikin heboh tersebut).
Jadi intinya menurut saya istilah kafir sebagai terminologi untuk menyebut orang diluar agama Islam tetap ada sebagaimana agama lain memiliki terminologi yang sama untuk menyebut orang diluar agama mereka. Namun sebagai orang yang mengenyam pendidikan yang baik dan terbiasa dengan keberagaman, mari kita gunakan terminologi ini dalam keadaan dan situasi yang tepat, kalau dalam internal seperti pengajian kitab kuning menurut saya sah – sah saja menggunakan istilah ini, tapi masa iya kita mau beli sayur yang mungkin tukang sayurnya bukan orang Islam terus kita mau bilang “abang tukang sayurnya kafir” kan gak mungkin juga.
Jadi marilah kita sama – sama menjaga kerukunan antar umat beragama biar negara kita jadi lebih maju, dan juga jangan habiskan seluruh energi dan waktu kita untuk mengait – ngaitkan sesuatu hal dengan afiliasi politik, yakin deh bakalan ribet urusan anda kalo terus – terusan sedikit – sedikit politik.